Aziz Digusti S.Kom : Tahapan Kampenye Belum Ada, Parpol Dan Bacaleg Belum Bisa Ditindak.

Meski pelaksanaan Pemilu 2024 masih lama, namun sejumlah bakal calon legislatif (bacaleg) dari sejumlah partai politik mulai melakukan sosialisasi, dan tebar pesona ke masyarakat.

Langkah ini dilakukan sebagai upaya awal mengenalkan diri ke masyarakat sebelum tahapan ataupun proses seleksi caleg digelar di masing-masing partai. Di setiap persimpangan jalan, terlihat sudah mulai banyak spanduk dan baliho sosialisasi dari bacaleg ini.

Hal tersebut dinilai sah-sah saja, saat ini proses tahapan pemilu memang sudah mulai berjalan, namun masih status bakal calon legeslatif (Bacaleg) yang belum ditetapkan sebagai Calon Legeslatif (Caleg) Calon Tetap oleh KPU maupun KPUD, tentunya sepanjang sepanduk dan baleho yang dipasang tidak memuat ajakan untuk memilih calon/kandidat maupun Partai politik tertentu.

Misalnya, ucapan selamat ulang tahun, ucapan selamat hari raya Idul fitri dan Idul Adha, bahkan menjadi donatur bagi kegiatan sosial kemasyarakatan dan langkah ini dilakukan para bakal calon dinilai wajar dalam rangka memperkenalkan diri di hadapan masyarakat banyak, namun soal pemilihan nantinya tentu di tangan masyarakat itu sendiri.

Hal tersebut pun tidak bisa dikatakan mencuri star oleh pihak pengawas pemilu, Bawaslu, walaupun tahapan pemilu sudah di mulai, selagi bukan himbauan dan ajakan untuk memilih, karna calon kandidat pun belum di tetapkan calon tetap oleh KPU, KPUD Provinsi maupun Kabupaten sebagai Calon Legeslatif Pemilu 2024.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Bawaslu Kabupaten Bengkulu Selatan Azis Digusti S.Kom ketika di konfirmasi mengatakan, saat ini tahapan pemilu memang sudah dimulai namun untuk tahapan kampenye itu belum ada penetapannya dari KPU.

“Seyogyanya kita belum bisa menindak adanya Partai ataupun kandidat karna belum ada penetapan Daftar Calon Tetap (DCT), jangankan DCT untuk Daftar Calon Sementara (DCS) saja KPU belum ada keputusannya. Terkait jika ada kandidat yang melakukan kegiatan sosial kemasyarakatan di masyarakat hal itu adalah sah-sah saja, misalnya membantu kegiatan masyarakat baik secara kelompok maupun pribadi. Untuk adanya baleho dan spanduk yang dipasang itu masih hak dan ranahnya pemerintah daerah, misalnya ada yang di pasang di pohon hidup dan fasilitas milik pemerintah, kita belum bisa menindaknya karna tahapan kampanye belum dimulai,” ujarnya Senin,(22/5/2023).

Menurutnya, jika ada Partai maupun kandidat yang di duga melakukan kampanye terselubung atau memasang baleho secara aturan yang ada bagaimana mau mengatakan kampanye sementara saat ini belum ada penetapan calon baik DCT maupun DCS dari KPU.

Ia meminta hal yang menjadi persoalan tersebut tidak di jadikan sebuah alat untuk menjatuhan calon tertentu, bentuk sosialisasi itu sah-sah saja asal tidak mengarah pada ajakan untuk memilih, dan kalau Alat Praga Kampanye (APK) itu ada PKPU yg mengatur, tandasnya.

Senada dengan yang disampaikan oleh Azis Digusti S.Kom, sebagaimana dikutip dari laman www.kompas.id terbit 28 Februari 2023, Manajer Pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Aji Pengestu menilai, tidak adanya aturan khusus yang memuat hal-hal yang diperbolehkan dan dilarang pada masa sebelum tahapan kampanye mengakibatkan pengawasan dan penindakan oleh Bawaslu lebih sulit. Sebab, aturan yang digunakan, yakni PKPU No 33/2018, tidak mengatur secara rinci hal-hal yang diperbolehkan ataupun dilarang. Bawaslu akhirnya tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk menjustifikasi temuan dugaan pelanggaran kampanye di lapangan.

”Misalnya kegiatan sosialisasi internal parpol yang berisi ajakan, tetapi diduga melibatkan massa di luar kader sehingga berpotensi melanggar aturan kampanye,” ujarnya.

Menurut Aji, pembiaran terhadap ruang ”abu-abu” sangat berbahaya bagi kondusivitas di masyarakat. Parpol akan semakin masif melakukan sosialisasi tanpa dibatasi aturan yang jelas. Akibatnya, rentan terjadi gesekan di masyarakat sehingga menimbulkan polarisasi, bahkan pendidikan politik tidak menjadi substansi utama.

Penjabat Sementara Direktur Eksekutif Pusat Kajian Ilmu Politik Universitas Indonesia Hurriyah mengatakan, masalah klasik dalam pemilu, yakni selalu ada kesenjangan antara aturan yang dibuat penyelenggara yang mengatur tentang perilaku para kontestan. Sementara, pola-pola perilaku aktor elektoral selalu berbeda dengan hal-hal yang diatur.

Salah satunya, aturan tentang sosialisasi hanya diberlakukan kepada parpol, padahal yang lebih banyak sosialisasi adalah bacaleg dan bacapres. Selain itu, aturan kampanye di media sosial hanya mewajibkan pendaftaran akun resmi kandidat, padahal yang lebih banyak berkampanye adalah akun tidak resmi. Aturan yang dibuat cenderung hanya teknis prosedural, tetapi tidak tepat sasaran.

”Artinya, regulasi tidak pernah betul-betul menyasar pada persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pola perilaku aktor elektoral,” tuturnya.

Oleh karena itu, lanjut Hurriyah, adanya aturan tentang sosialisasi di PKPU 33/2018 pun tidak menjamin bahwa tidak akan ada pelanggaran. Sebab, dalam aturan tersebut masih terdapat kesenjangan substansi dan minimnya kepatuhan parpol. Kalaupun ada sanksi, cenderung sangat lemah sehingga sangat berpotensi dilanggar.(Red)

(Sumber Refrensi PKPU No 33/2018)
(dikutip/rls.fortalbkl)