Kritik Terhadap Institusi Pendidikan ; Titik Balik Kehancuran Demokrasi di Perguruan Tinggi

221
                                         Fauzan Azima
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Fatmawati Sukarno Bengkulu Fakultas syariah Prodi Hukum Tata Negara

Keyasa.com – Genap 1 abad telah berlalu sejak Ki Hajar Dewantara memperkenalkan Taman Siswa sebagai sarana pendidikan bagi anak bangsa.

Melalui taman siswa masyarakat tidak hanya diajarkan menjadi cerdas tetapi juga di ajarkan untuk melepaskan belenggu-belenggu dari kebodohan sebagai momok Feodal terhadap penjajahan.

Pendidikan merupakan sarana akadamis, dimana setiap orang diberikan hak yang sama untuk mendapatkan pengetahuan, menguji pengetahuan, serta ujung tombak suatu bangsa karna sebagai labolatorium yang melahirkan calon-calon pemimpin bangsa dimasa depan.

Di Indonesia sendiri, ada beberapa tingkatan sistem pendidikan yang terdapat di dalam undang-undang sisdiknas (vide uu No 20 tahun 2003) yang menjelaskan 3 tahap yakni pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.

Dikutip dari data BPS, terhitung sejak 2021 terdapat 3.957 perguruan tinggi yang terdapat di Indonesia, dimana 3.115 perguruan tinggi dibawah Kemendikbud ristek dan 842 dibawah Kemenag.

Sebagai Negara yang menganut sistem Demokrasi sebagai rule of law, maka Demokrasi sebagai sistem, selayaknya telah ditanamkan kepada peserta didik dan juga pendidik terkhusus di dalam kampus.

Namun pada realitasnya institusi pendidikan terkhusus pendidikan tinggi atau kampus bukanlah merupakan suatu ruang hampa.

Semakin berjalannya waktu, kampus bertransformasi, bukan lagi hanya menjadi sarana validasi pengetahuan tetapi juga menjadi ruang bebas nilai terhadap pergulatan politik. Entah sejak kapan dimulai dunia kampus memperkenalkan representasi dari negara, dimana berbagai ruang kampus diisi oleh pejabat-pejabat kampus, sistem administrasi yang merepresentasikan suatu negara kecil, dan bermuara pula pada berbagai proses-proses pemilihan.

Mimpi buruk yang akhirnya muncul adalah ketika nilai-nilai demokratis yang coba diajarkan di dalam kampus mulai ternodai, semisal dimana proses-proses pemilihan akhirnya dilucuti oleh orang yang memiliki berbagai kepentingan-kepentingan golongan tertentu. tatkala hal ini terjadi, kampus menjelma seperti halnya suatu dinasti kerajaan. Dimana hanya orang yang memiliki darah biru serta memiliki sanad raja lah yang berhak menduduki posisi-posisi penting di kerajaan.

Begitu juga yang terjadi pada dunia kampus, mereka yang berkuasa di dalam kampus akan berusaha keras untuk mempertahankan kekuasaan tersebut dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan mengamankan posisi-posisi strategis di dalam kampus agar teredamnya suatu perbedaan pandangan. padahal jika ditelisik lebih jauh, kebodohan serta mandeknya cara berfikir terjadi saat minusnya perbedaan suatu pandangan atau bisa jadi hausnya suatu jabatan kekuasaan menjadikan alasan pembenar bahwa jabatan harus tetap dipertahankan dengan berbagai upaya.

Kehancuran demokrasi di dalam kampus diperparah dengan permainan kotor politik yang kerap kali dipertontonkan pada berbagai prosesi pemilihan-pemilihan, black campaign, negative campaign, serta kongkalikong antar mahasiswa dengan pendidik yang memiliki otoritas tertentu adalah barang murah yang terus menerus terjadi bahkan diwariskan.

Kondisi dunia politik kampus semakin diperlucu saat sang pendidik yang seharusnya mengajarkan tentang nilai-nilai demokratis, bersetubuh dengan kekuasaan serta embel-embel pendekatan emosional ikut mempertahankan jabatan-jabatan fungsional kampus yang diisi oleh mahasiswa, dimana proses-proses pemilihan yang seharusnya hanya melibatkan mahasiswa, ternyata diikutcampuri oleh pendidik yang rela menjual jabatan mereka untuk digadai oleh norma etis.

Pada akhirnya kampus hanya melahirkan generasi-generasi pengecut, generasi yang nanti hanya merusak negara dengan ke feodalism yang telah meng idelogis jika rentetan cerita diatas terus terjadi. karna bagaimana bisa mengurusi suatu sistem organisasi besar yang bernama negara, jika saat proses belajar memimpin representasi dari negara tersebut dipergunakan hanya untuk melanggengkan status quo.

Oleh : Fauzan Azima

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini