Oleh: M I’dul Fauzan Azima (Mahasiswa Hukum Tata Negara IAIN Bengkulu)
Bismillahirrahmanirrahim baiklah, darimana kita akan memulainya…?
Kebijakan demi kebijakan yang dibuat sangat tidak sesuai dengan esensi demokrasi, dan cita-cita kehidupan berbangsa yang turut menjamin hak untuk hidup akan lingkungan yang layak berdasarkan konstitusi, khususnya di Provinsi Bengkulu, bagaimana tidak, berdiri dengan gagahnya monumen penindasan buah dari perkawinan antara penguasa dengan kaum kapitalis.
Semua mala petaka yang akan kita hadapi bermula dari ambisi pemerintah yang ingin membangun pengadaan listrik sebesar 35.000 MW diseluruh Indonesia salah satunya terdapat di Provinsi Bengkulu dengan kapasitas sebesar 2 kali 100 MW. Pendanaan proyek PLTU tersebut bersasal dari pinjaman perbankan sebesar 270 juta USD setara dengan 3,7 Triliyun Rupiah. Pada januari 2017 penggundulan hutan Mangrove telah di lakukan seluas lebih kurang 10 Ha dan beberapa lahan garapan warga untuk tapak pembangunan PLTU. Selain itu secara tidak langsung dampak dari pembabatan hutan bakau dan hutan mangrove menghancurkan mata pencaharian para nelayan-nelayan kepiting, petani sampan, petani keramba dan mereka yang menggantungkan hidupnya di wilayah pesisir Teluk Sepang.
Sejak awal masyarakat kecamatan Kampung Melayu Kelurahan Teluk Sepang menyadari akan bahaya kerusakan lingkungan yang akan di sebabkan oleh limbah PLTU terutama pencemaran udara dan rusaknya kawasan tangkapan ikan para nelayan.
Inilah yang membuat masyarakat berinisiasi untuk membuat posko penolakan PLTU Teluk Sepang yang bernama Posko Langit Biru.Sejak pertama kali di bangun uji coba operasi PLTU Teluk Sepang hingga sekarang telah tercatat 28 ekor penyu mati diwilayah pesisir Teluk Sepang oleh pembuangan Air Bahang (Air bahang adalah air laut yang telah digunakan dalam proses pendinginan mesin PLTU yang dibuang kembali ke laut, sehingga suhu permukaan laut mengalami peningkatan suhu dari suhu rata-rata laut PLTU yang di buang langsung ke laut.).
Masyarakat sudah bisa menilai dan beranggapan kalau pihak yg berwenang seperti BKSDA dan DLHK tidak bersungguh-sungguh dalam bekerja.
DLHK membiarkan pembuangan limbah yang berbusa coklat dan berbau pekat tanpa izin.
BKSDA tidak mampu melindungi dan mengidentifikasi secara sigap terhadap biota laut yang dilindungi sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor P.106/Menlhk/Setjen/Kum.1/12/2018 tentang jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi.
Untuk mencari tahu apa penyebab kematian nya saja BKSDA tidak mampu, apa lagi membudidayakan dan melindungi. Padahal, penyu sisik yang sudah 28 ekor mati itu adalah hewan yang dilindungi. Terlebih, kita nilai bersama bahwa ketika dinas dinas terkait dan jajarannya tidak mampu bekerja dengan baik disitu juga terlihat bahwa Gubernur tidak tegas dalam menyelesaikan masalah yang ada di lingkungan dan Pemerintahan. Negara Hukum yang penuh dengan aturan, tetapi dibiarkan orang asing untuk melanggar aturan. Bukan tentang Proyek Strategi Nasional, Tetapi tentang Lingkungan Hidup yang membuat kita masih tetap hidup.
Sampai detik ini masyarakat masih melakukan perlawanan hingga saat PLTU ini ditutup.
Pejuang Lingkungan
Menurut, Pak Rustam beliau juga salah satu orang yang masih berjuang menolak PLTU Teluk Sepang.
Pak Rustam mengatakan “Bukannya masyarakat menolak terhadap pembangunan PLTU, tapi kita lihat terlebih dahulu apakah ada dampak dengan lingkungan tersebut yang di sebabkan oleh pembangunan PLTU ini,” Ucap pak rustam.
Hanya saja perhatikan dampaknya terlebih dahulu, baca dulu lingkungan sekitar ada dampak sama lingkungannya atau tidak, seharusnyakan seperti itu.Tapi model PLTU ini puluhan hektar hutan bakau telah di babat untuk pembangunan PLTU tersebut. Yang mana di hutan bakau tersebut merupakan salah satu roda ekonomi warga disini. Selain itu warga disinikan menanam sawit, lalu ketika pembangunan ini datang sawit tersebut sudah masuk masa panennya, sudah masuk masa produktif nya. Tetapi ketika pengambilan alih lahan tersebut tanam tumbuh sawit di bayar murah yang tidak sesuai dengan PERGUB yang ada. Yang membuat petani sawit disini merugi.
“Tidak hanya di darat dampaknya juga ada di laut kepada nelayan, berdampak kepada pendapatan ikan-ikan dan juga yang mana nelayan biasanya melaut dengan jarak tidak terlalu jauh dari bibir pantai, kini bertambah jauh ke tengah untuk mendapatkan ikan,”jelas pak rustam.
Sejak mulai beroperasinya PLTU tersebut sampai sekarang 28 ekor penyu telah mati di sekitar bahang. Dan ketika kami mengadukan kepada pemerintahan setempat mereka mengatakan bahwa ini adalah fenomena alam. Kami sendiri tidak percaya dengan hal itu. Kamipun sering melakukan aksi disini bahkan sempat pula menutup jalan, tapi pada akhirnya kami dibubarkan secara paksa oleh oknum.
Kami sering melaporkan ini semua tapi pihak pemerintah tidak merespon ini dengan baik, kami sangat kecewa, Kepala Desa juga sama kakinya sebelah ke pemerintah dan sebelahnya lagi baru ke rakyat, yang mana yang panas akan ia angkat dan membiarkan kaki yang satunya dingin.
” Seperti itulah ucapan pak Rustam dalam bentuk kekecewaan beliau terhadap pemerintahan”
Sementara itu Wak jalal sedikit bercerita tentang keresahannya “Pada tahun 2019 kami telah menggugat PLTU ini untuk di tutup, tapi karena memang yang punya ini memiliki kuasa, kecil bagi kami untuk bisa menang,”ucap wak jalal.
“Walau bagaimanapun kami disini memang menolak sejak awal ketika PLTU ini mau didirikan, karena kami tahu betul dampak kerusakan yang akan disebabkan oleh PLTU tersebut. Bahkan di negara-negara maju sekalipun mereka sudah tidak menggunakan PLTU, karena mereka tahu energi ini adalah energi yang kotor,” Tegasnya.
Sedangkan kami ditipukan oleh pihak pengusaha dengan mengatakan bahwa PLTU ini energi baru terbarukan, padahal tidak ini sungguh energi yang kotor, Selain itu kami dijanjikan pula akan adanya lapangan pekerjaan disini, tapi nyatanya tidak setelah PLTU ini berdiri kokoh, dan juga yang PLTU 100 Mw ini sebenarnya belum diresmikan tapi ini tetap berjalan.
Kita semua membutuhkan bumi yang sehat untuk mendukung pekerjaan, mata pencaharian, kesehatan & kelangsungan hidup, dan kebahagiaan kita. Planet yang sehat bukanlah pilihan tapi ini adalah kebutuhan. Bumi butuh pemulihan bukan limbah, adalah pesan yang tepat untuk negara Indonesia.