
Keyasa.com – Pergelaran Hari Internasional Masyarakat Adat Nusantara yang jatuh pada 9 Agustus 2023 di Ke’Te Kesu, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan berlangsung meriah
Disisi kemeriahan acara peringatan hari masyarakat adat sedunia itu juga terdapat beberapa rangkaian kegiatan salah satunya berupa Klinik atau Pos bantuan hukum yang digelar oleh Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).
Ketua PPMAN Syamsul Alam Agus mengatakan, tujuan Klinik Hukum yang dibuka oleh PPMAN memiliki maksud untuk mendekatkan akses bantuan hukum kepada Masyarakat Adat yang selama ini sangat jauh dan sulit untuk mengakses keadilan.
Terdapat beberapa kendala Masyarakat Adat tidak bisa mengakses keadilan kata Syamsul, diantaranya lokasi atau tempat tinggal mereka jauh dari kota sehingga menyebabkan mereka pun terputus akses informasi serta ilmu pengetahuan terkait hukum yang berlaku di Indonesia.
Akibatnya kata dia, Masyarakat Adat acap kali mendapatkan ancaman, kriminalisasi, bahkan diintimidasi karena upaya mereka dalam mempertahankan wilayah adatnya.
Jauh sebelumnya, jika merujuk pada Catatan Tahun 2022 yang dipublikasikan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) telah menyatakan sejak AMAN berdiri hingga 2022 dengan jumlah anggota sebanyak 2.449 komunitas adat.
Saat ini juga lanjutnya, masih terdapat 161 produk hukum daerah, penetapan hutan adat oleh pemerintah sejumlah 105 dengan total luasan 148.488 hektar paska putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012. Namun sampai saat ini masih terdapat komunitas adat anggota AMAN, mengalami perampasan wilayah adat.
Sejauh ini AMAN kata dia, terus melaksanakan program pertanahan nasional dengan dengan skema perhutanan sosial (HKM, Hutan Desa, HTR, Kemitraan), yang berjumlah 2.400 hektar.
Jika dipetakan masih terdapat 2,71 Juta hektar wilayah adat yang saat ini masih belum memiliki produk hukum di daerah dan penetapan hutan adat oleh pemerintah.
Masyarakat Adat yang komunitasnya masuk menjadi anggota AMAN juga teridentifikasi menempati wilayah adat di pesisir dan pulau-pulau kecil sejumlah 559 komunitas adat dan 22 di antaranya telah mendapatkan penetapan oleh Kementerian Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Tercatat 301 perampasan wilayah adat dengan luasan 8,5 Juta hektar yang mana 672 orang Masyarakat Adat menjadi korban pengkriminalisasian, yang mana di Tahun 2022 terdapat 19 kasus perampasan wilayah adat dengan luas 600 ribu hektar.
Berdasarkan data dari CATAHU AMAN, konflik yang Masyarakat Adat hadapi bukan hanya dalam bentuk Pidana dan Perdata saja.
Namun mereka juga rentan berhadapan dengan masalah hukum dikarenakan minimnya pengetahuan mereka terhadap dampak dari terbitnya suatu produk hukum sehingga persoalan itu dipandang penting oleh PPMAN.
“Mengingat bahwa Masyarakat Adat merupakan kelompok rentan dengan resiko akan pelanggaran HAM yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok rentan lainnya, ini dikarenakan Masyarakat Adat selalu menjadi korban eksploitasi sumber daya alam, di mana tempat terjadinya eksploitasi sumber daya alam tersebut berada di wilayah adat, disini ada kepentingan dari negara dan pemilik modal atas wilayah adat.” Ungkap Syamsul Alam Agus.
Lebih lanjut, Alam yang merupakan sapaan dari Syamsul Alam Agus menambahkan bahwa “hampir semua kasus Masyarakat Adat memiliki kerentanan untuk menjadi korban dan mendapatkan tindakan kriminalisasi atas perjuangan Masyarakat Adat dalam mendapatkan hak-haknya”.
Negara dan pemilik modal merampas tanah milik Masyarakat Adat dan tindakan ini merupakan salah satu cerminan dari pengabaian negara untuk melindungi masyarakat adat.
Selain itu pemilik modal juga memiliki kekuasaan dan juga kerjasama dengan negara untuk merampas, menggusur, mengeskplorasi dan mengeksploitasi tanah masyarakat adat.
“Tindakan perampasan, penggusuran, eskplorasi dan eksploitasi tersebut merupakan tindakan yang telah melanggar sejumlah Undang-Undang, Undang-Undang Dasar dan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Prinsip Free end Prior Informed Consent (FPIC) dan berbagai prinsip konvensi yang lainnya.” Tambah Alam
“Mengingat beragamnya masalah hukum yang yang terjadi dan menimpa Masyarakat Adat, maka Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) akan membuka klinik hukum yang mana juga satu rangkaian kegiatan perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat (HIMAS) dilaksanakan.
Hal ini dilakukan guna mengakomodasi pendampingan dan pembelaan terhadap hak-hak Masyarakat Adat dalam proses kemudahan akses dan layanan bantuan hukum. Selain itu, komunitas masyarakat adat bisa mendapatkan akses keadilan.” Tutupnya. (Rls)